Ads 468x60px

Selasa, 12 Juni 2012

Beginilah Nasib Merek Asing di Korea!



Seoul, Automotive Blog – Bagi yang pernah ke Korea Selatan melihat, mobil-mobil merek asing (non-Korea) sangat jarang berseliweran di jalan raya. Penyebabnya, orang Korea selain menyukai dan ingin membangun merek Korea, ternyata juga ada faktor lain. Kondisi tidak berbeda jauh dengan konsumen Indonesia.

Berdasarkan sebuah survei industri baru-baru ini dan diberitakan oleh The Chosunilbo, faktor utama yang menyebabkan merek asing kurang disukai konsumen Korea adalah harganya yang mahal. Faktor kedua, layanan purna merek asing memuaskan konsumen di negera tersebut.

Lebih murah
Diberitakan, saat ini merek asing sebenarnya mendapat respon cukup baik dari konsumen karena harganya makin kompetitif. Kendati masih di atas rata-rata harga merek Korea, harga yang ditawarkan meek asing semakin terjangkau.

Akibatnya, dengan perbedaan harga yang makin menipis, konsumen bersedia memberikan toleransi. Pasalnya, performa dan konsumsi bahan bakar merek asing yang lebih baik dari mobil Korea. Di samping itu, dibandingkan dengan harga di negara asalnya, yang dijual di Korea justru lebih murah.

Dicontohkan, Volvo S80 D5, dijual 57 juta (Rp 458 juta) won atau 4 (Rp 32 juta lebih) juta won lebih murah dibandingkan dengan di Swedia. Sedangkan VW Golf 2.0 TDI dijual 33,4 juta won atau lebih murah 30 persen dibandingkan dengan di Jerman, Begitu juga dengan Nissan Cube, dijual 25,6 juta won atau 10 persen lebih murah di bandingkan dengan di Jepang.

Onderdil mahal
Layanan purna jual, yaitu ongkos pemeliharan dan perbaikan termasuk, harga suku cadang atau onderdil yang mahal, mengurangi minat konsumen Korea membeli mobil merek asing. Dicontohkan, untuk mengganti atau membeli saringan oli atau karet wiper Mercedes-Benz E-Class, pemilik harus mengeluarkan biaya 90.000 won (Rp 725.000) .

Ongkos jasa perbaikan juga lebih mahal dibandingkan dengan merek-merek Korea. Sebagai contoh, satu pintu BMW 320i dijual 663.000 won (Rp 5,3 juta lebih). Sedangkan ongkos pemasangannya (untuk montir) 60.000 won (Rp 485.000) per jam. Harga itu, tiga kali lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk teknisi yang menangani mobil Korea.

Kondisi itu pula yag menyebabkan biaya untuk memperbaiki serempetan kecil pada sepatbor jadi mahal. Ini pula yang menyebabkan, perusahaan asuransi, menggenakan tarif premi tiga kali lipat lebih mahal untuk mobil impor dibandingkan asal Korea.

Reaksi merek asing
Menangapi hal tersebut, dealer atau distributor merek asing hanya bisa berkilah, ongkos perbaikan mobil non-Korea di negara tersebut dinilainya tidak mahal. Mereka membandingkan secara global dan bukan dengan di Korea.

Seorang juru bicara Mercedes-Benz di Korea mengatakan,”Kami memberikan kualitas layanan purna jual yang lebih baik. Biaya atau upah perbaikan untuk kendaraan berteknologi tinggi tidak harus sama dengan mobil yang lebih murah harganya.”

Dijelaskan pula, harga suku cadang merek mobil impor makin terjangkau karena populasinya terus meningkat. “Skala ekonomi mulai diperlihatkan untuk harga onderdil,” jelas seorang anggota Asosiasi Importir dan Distributor mobil Non-Korea di negara tersebut. “Harga suku cadang untuk mobil asal Eropa yang dijual Korea turun cukup mencolok karena Euro melemah,” jelasnya.

Tidak nyaman
Kendati demikian, konsumen mobil asing tetap saja merasa kurang nyaman dengan layanan purna jual di Korea. Pasalnya, dealer merek asing hanya melayani perbaikan eksklusif. Akibatnya, pemilik tidak bisa memperbaiki atau melakukan pemeliharaan di bengkel umum. Mereka harus membawa mobilnya ke pusat layanan purna jual mobil asing tersebut. Kondisi tersebut digunakan dealer melakukan monopoli, khususnya onderdil dan harga dipatok lebih mahal.

“Mobil impor kalah bersaing untuk layanan purna jual dibandingkan dengan merek domestik. Pasalnya, untuk mobil Korea bisa ditangani oleh bengkel terdekat atau umum dengan harga lebih murah untuk pemeliharaan,” kata Prof. Kim Pil-soo dari Daelim College yang dikutip The Chosunilbo.

“Kalau mobil impor makin banyak yang terjual, kualitas layanan juga meningkat, daya saingnya semakin tajam. Ini akan menjadi ancaman bagi merek domestik,” tutup sang profesor.


SUMBER

0 komentar:

Posting Komentar